No Viral No Justice (tidak viral tidak ada keadilan), berarti bahwa keadilan sering kali hanya dapat dicapai jika suatu isu atau kasus menjadi viral di media sosial. Viralitas menarik perhatian publik, media, dan pihak berwenang, yang kemudian memberikan tekanan untuk mengambil tindakan yang adil dan tepat.
Frasa ini mencerminkan pandangan bahwa tanpa viralitas atau perhatian luas dari masyarakat, keadilan sering kali sulit dicapai. Tagar dan ungkapan no viral no justice bisa diartikan sebagai bentuk kekecewaan masyarakat pada pihak kepolisian yang dianggap lambat menindak kejahatan jika belum viral. Atau bisa jadi Frasa yang mencerminkan realitas modern di mana media sosial memiliki kekuatan besar dalam membentuk opini publik dan mempengaruhi tindakan.
Hampir serupa saat munculnya istilah No justice, no peace atau tiada keadilan, tiada perdamaian, yaitu sebuah slogan politik yang bermula dari protes melawan kekerasan etnis terhadap Afrika Amerika oleh orang kulit putih Amerika. Frasa ini mencerminkan realitas modern di mana media sosial memiliki kekuatan besar dalam membentuk opini publik dan mempengaruhi tindakan.
Dari berbagai refrensi menyebutkan kasus-kasus yang tidak mendapat perhatian media atau tidak viral sering kali diabaikan, meskipun memerlukan perhatian dan tindakan. Dan memang kekinian Media sosial menjadi platform penting untuk menyuarakan ketidakadilan dan mencari keadilan. Dengan berbagi cerita, video, atau gambar yang menggambarkan ketidakadilan, pengguna media sosial dapat menarik perhatian luas dan mendorong perubahan.
Hashtag #NoViralNoJustice, sejak tahun 2020-an sering digunakan untuk meningkatkan visibilitas isu-isu penting. Beberapa contoh kasus di mana viralitas di media sosial membantu mencapai keadilan termasuk kasus bullying di sekolah. Banyak kasus bullying yang menjadi viral telah menyebabkan intervensi pihak berwenang dan langkah-langkah disipliner yang lebih ketat di sekolah.
Dengan berbagi cerita, video, atau gambar yang menggambarkan ketidakadilan, pengguna media sosial dapat menarik perhatian luas dan mendorong perubahan. Tagar dan ungkapan no viral no justice pun sebagai bentuk kekecewaan masyarakat pada pihak kepolisian yang dianggap lambat menindak kejahatan jika belum viral.
Fenomena itu mendapat respon Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, yang juga menyoroti fenomena “no viral, no justice” yang muncul di media sosial dalam beberapa tahun terakhir. Lewat fenomena itu, menurut Kapolri masyarakat menilai bahwa suatu laporan tindak pidana harus viral terlebih dulu agar aparat mau menindaklanjutinya.
Respon Kapolri
Bahkan Kapolri di acara Rakor Anev Itwasum Polri 2021 yang disiarkan secara virtual, Jumat 17 Desember 2021, menyatakan bahwa fenomena itu (no Viral, No Justice) sudah melekat di masyarakat bahwa harus viral, kalau tidak viral maka prosesnya tidak akan berjalan dengan baik.
Kapolri juga menyorot adanya fenomena tagar #PecumaLaporPolisi serta #SatuHariSatuOknum yang belakangan juga ramai di media sosial. Kapolri mengajak jajarannya untuk menerima semua masukan dan mengevaluasi diri melalui tagar-tagar tersebut. Saat ini waktunya Polri memperbaiki, berbenah untuk kemudian lakukan hal yang lebih baik untuk memenuhi harapan masyarakat.
Listyo menyebut pihaknya sudah memiliki program pengaduan masyarakat (dumas). Dan jajarannya harus menindaklanjuti laporan yang diadukan melalui dumas sesuai dengan harapan masyarakat. Meskipun, menurutnya, ada kemungkinan bahwa tidak semua laporan yang diadukan itu benar, namun aparat yang menerima laporan tetap merespons laporan itu secara optimal.
Listyo berpandangan hal-hal ini harus selalu dievaluasi sehingga harapan masyarakat tekait pengaduan atau laporan bisa terjawab. Yang tadinya pengaduannya itu tidak benar namun karena pada saat kita menanggapinya tidak pas, tidak sesuai dengan harapan masyarakat, maka akan muncul masalah baru.
Beberapa contoh kasus viral, misal ramai di media sosial setelah berita kasus pemerkosaan terhadap tiga anak yang diduga dilakukan oleh ayah kandung di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, viral pada Rabu 8 Oktober 2021. Kasus ini viral karena polisi menghentikan penyelidikan kasus tersebut dalam kurun waktu dua bulan. Kemudian, ada tagar #SatuHariSatuOknum viral pada awal bulan Desember 2021, setelah munculnya kasus Bripda RB yang diduga meminta seorang mahasiswi berinisial NWR untuk menggugurkan kandungannya setelah sebelumnya dihamili.
Lalu ada juga tagar #PercumaAdaPolisi menjadi trending topic pada Selasa 14 Desember 2021 pagi, bersamaan dengan ramainya kasus anggota Polsek Pulogadung, Jakarta Timur, yang menolak laporan seorang warga yang menjadi korban pencurian. Tagar-tagar ini muncul akibat kekesalan masyarakat terhadap kinerja polisi yang dinilai tak sungguh-sungguh dalam memproses kasus yang dilaporkan. Teranyar yang masih ramai adalah kasus Vina Cirebon, dan banyak lagi kasusnya.
Pandangan Jaksa Agung
Jaksa Agung Republik Indonesia, ST. Burhanuddin, juga sempat menyoroti anggapan yang berkembang dalam penegakan hukum bahwa tidak ada keadilan apabila tidak viral di media sosial. Jaksa Agung menekankan bahwa informasi yang tersebar luas hingga viral belum tentu memiliki kebenaran yang terkonfirmasi. Karena ada juga kecenderungan tidak peduli benar ataupun salah yang terpenting adalah peristiwa tersebut viral.
Bahkan pendewasaan penegakan hukum kini dihakimi dengan slogan masyarakat ‘No Viral, No Justice’. Publik tidak peduli kebenarannya, asalkan peristiwa tersebut viral untuk mendapat perhatian khalayak luas. Burhanuddin juga mengamati banyaknya peristiwa hukum yang menjadi viral selama proses penegakan hukum, terutama yang melibatkan oknum-oknum dari Kejaksaan.
Burhanuddin, meyakinkan bahwa Kejaksaan selalu berusaha memberikan solusi terbaik dalam menangani kasus dan memberikan layanan kepada masyarakat. Namun, seringkali Kejaksaan menerima tanggapan negatif seperti hujatan, sindiran, dan makian. Burhanuddin menyadari bahwa ruang publik tidak memiliki sekat, ruang, waktu, dan batas.
Kekuatan Media Sosial
Lalu pertanyaannya mengapa orang-orang lebih mengandalkan kekuatan netizen di media sosial daripada aparat penegak hukum?. Karena dalama banyak contoh kasus, media sosial memiliki kekuatan besar sebagai sumber informasi dan pengaruh yang bisa mengubah keadilan hukum bagi korban. Fenomena viral di media sosial punya pengaruh besar dalam memperhatikan kasus-kasus yang senyap di masyarakat sehingga dapat menjadi perhatian publik.
Salah satu pemicu maraknya kasus yang diviralkan di media sosial merupakan respon dari masyarakat karena tidak sepenuhnya percaya pada aparat. Lalu masyarakat mencari faktor eksternal agar ditangani, karena ada kecenderungan masyarakat merasa lelah terhadap penegakan hukum di Indonesia yang stuck, dan tidak ada progress jika tidak ada sesuatunya.
Bahkan kadang kala proses hukum rancu dengan alasan-alasan yang bersifat birokratis dan formalistik yang mengganggu dalam situasi normal pun dikesampingkan. Padahal Indonesia mengenal asas peradilan cepat, murah dan biaya ringan, Realitanya peradilan dilaksanakan dengan sederhana, cepat dan biaya murah sebenarnya masih jauh antara pernyataan dan kenyataan, dan masih banyak ditemukan praktek-praktek yang kontra produktif.
Selain proses yang berbelit-belit, waktu penyelesaian perkara yang sangat lama, juga biaya yang sangat mahal. Belum lagi penyelesaian perkara yang berlarut-larut, akibat sikap oknum penegak hukum dalam menangani perkara yang melewati batas waktu penyelesaian, selain faktor para pihaknya itu sendiri yang dapat memperlambat waktu penyelesaian perkara termasuk di pengadilan.
Semoga menjadi renungan penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum. Justice delayed is justice denied (keadilan yang diberikan dalam waktu yang lama bukanlah keadilan). Bahwa masyarakat berhak mendapatkan rasa keadilan dan rasa aman. Seperti Aristoteles mengatakan bahwa keadilan adalah tindakan yang terletak diantara memberikan terlalu banyak dan sedikit yang dapat diartikan memberikan sesuatu kepada setiap orang sesuai dengan apa yang menjadi haknya.
Namun masyarakat juga harus waspada, meski memviralkan kebenaran adalah akan menyampingkan hal lain, tapi No Viral No Justice yang kebablasan juga akan merugikan masyarakat itu sendiri, dengan ancaman hukuman lain, salah satunya adalah UU ITE. Mari berpikir cerdas. (*)