MALAM di Teluk Lampung selalu menyimpan misteri. Ketika masyarakat Kota Tapis Berseri terlelap, suasana berbeda di Teluk Lampung Pelabuhan Panjang. Saat gelap menyelimuti, para penghobi yang dikenal sebagai pemburu tinta hitam sedang berjuang. Mereka tidak mencari ikan besar, melainkan cumi-cumi, makhluk laut penuh teka-teki, yang membawa mereka berpetualang di tengah malam.
Kapal-kapal kayu dengan kapasitas 7-10 orang mulai berlayar, membawa para Angler (pemancing) menuju titik-titik strategis di Teluk Lampung. Berbekal joran, umpan egi, nasi bungkus dan rokok, dengan semangat yang membara, mereka siap menghabiskan malam di tengah laut.
Bagi mereka, memancing cumi bukan sekadar hobi. Melainkan sebuah petualangan. Sensasinya tak bisa dijelaskan dengan kata-kata untuk salah satu penghobi pemburu tinta hitam ini.
Memancing cumi bukan sekadar menunggu tarikan di ujung joran. Ada perjuangan yang harus dilalui. Angin kencang yang berembus sering kali menggoyang kapal kecil yang mereka tumpangi. Terkadang ada saja candaan para pemburu tinta hitam untuk memecah kesunyian. “Kalau orang yang mabok laut, makan Mie Goreng keluarnya Mie Kuah,” celetuk pemancing yang sudah satu tahun ini berburu tinta hitam.
Kadang, hujan turun tanpa peringatan. Butiran air yang jatuh dari langit bercampur dengan hembusan angin, membuat suasana semakin menantang. Di saat seperti ini, tidak ada tempat berteduh. Para Angler hanya bisa menarik tudung jaket atau menundukkan kepala, menunggu hujan reda sambil tetap menjaga joran mereka tetap siaga.
Bagi yang sudah terbiasa, kondisi seperti ini bukanlah halangan. Justru di situlah letak tantangannya. Saat hawa dingin semakin menusuk, pemilik kapal biasanya mengambil inisiatif menyeduhkan kopi. Di atas kapal yang terombang-ambing di lautan, secangkir kopi panas terasa seperti penyelamat. Aroma kopi bercampur dengan udara laut yang asin, menciptakan suasana yang begitu khas.
Para pemancing menyeruput kopi mereka dalam keheningan, menikmati sejenak istirahat sebelum kembali fokus pada perburuan cumi. Bagi mereka, momen ini lebih dari sekadar menghangatkan tubuh, ini adalah momen kebersamaan, berbagi cerita di bawah langit malam yang luas.
Strategi utama dalam berburu cumi adalah mendekati kapal-kapal tongkang yang bersandar. Lampu-lampu sorot yang digunakan kapal tongkang untuk aktivitas bongkar muat tanpa disadari menarik perhatian cumi-cumi naik ke permukaan.
Namun, tidak semua kapal tongkang mengizinkan kapal kecil mendekat. Ada kapten kapal Tongkang yang memahami aktivitas para pemancing dan membiarkan mereka mencari rezeki, tetapi ada juga yang melarang keras.
Dengan bahasa yang tidak dimengerti (Bahasa asing _Red), para pemilik kapal dan para Angler memahami penolakan dari orang yang berada di atas kapal tongkang, bahwasanya kapal kayu dilarang mendekat. “Takut banget, emangnya kita bajak laut Somalia,” ucap angler sambil menghisap rokok kreteknya.
Pemilik kapal kayu tak kehabisan akal, mereka tidak akan menyerah begitu saja, demi memberikan pelayanan terbaik kepada para pemburu tinta hitam yang merogoh kocek Rp80 ribu perorang (Open Trip). Mereka akan mencari kapal tongkang lain yang lebih bersahabat atau bertahan di area yang masih terkena pantulan cahaya.
Para Angler harus sigap ketika Kapten kapal kayu ini sudah memarkirkan kapalnya di ujung kapal tongkang yang memiliki cahaya lampu. Teknik eging memainkan peran penting di sini, umpan tiruan berbentuk udang harus dimainkan dengan cara yang tepat agar cumi tertarik. Begitu ada tarikan, sensasi khasnya terasa di genggaman. Tarikannya tidak sekuat ikan besar, tetapi cukup memberi perlawanan yang membuat adrenalin naik.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam, jika tidak mendapatkan hasil yang memuaskan, maka kapten kapal kayu akan pindah mencari spot kapal tongkang lainnya. Mereka berharap diwaktu subuh biasanya cumi akan keluar. Entah sudah ratusan kali atau ribuan joran dinaik turunkan untuk memancing agar cumi memakan umpan.
Mereka tetap berharap, meski ada yang merebahkan badan, tapi ada juga yang masih penasaran, terus menarik-turunkan, demi cumi yang tak kunjung menyambar.
Saat fajar mulai merekah, tibalah saatnya menghitung hasil tangkapan. Jika malam itu cumi banyak, wajah-wajah lelah yang tidak tidur semalaman berubah menjadi sumringah. Mereka yang beruntung membawa pulang wadah termos penuh cumi, kurang lebih 7 kg per angler.
Namun, tidak semua Angler membawa hasil buruannya. Ada kalanya laut tidak bersahabat. Tidak satu pun cumi menyambar umpan, dan para Angler harus pulang dengan tangan kosong.
Wajah mereka mungkin terlihat lelah dan sedikit kecewa, tetapi tidak ada rasa putus asa. Bagi mereka, ini adalah bagian dari permainan. Jika malam ini kosong, maka besok malam akan dicoba lagi. Laut selalu menyuguhkan misteri kadang murah hati, kadang pahit.
Ketika cumi sedang melimpah, para angler menyebutnya adaan atau along. Ini adalah istilah yang mereka gunakan untuk menandakan bahwa musim cumi telah tiba.
Kabar baik ini akan segera menyebar. Pemilik kapal kayu yang mengetahui kondisi ini akan mengabarkannya kepada pemancing lain yang tersebar dari group WhatsApp ataupun media sosial Facebook. Semakin banyak yang tahu, semakin banyak pemancing yang turun ke laut.
Bagi pemilik kapal, ini adalah berkah. Semakin banyak pemancing yang menyewa kapal mereka, semakin besar pula pemasukan yang mereka dapatkan.
Bagi pemancing, ini adalah kesempatan. Jika malam ini berhasil mendapatkan cumi dalam jumlah banyak, maka malam berikutnya harus diulang.
Memancing cumi di Teluk Lampung bukan hanya soal menangkap cumi. Ini adalah petualangan yang mengajarkan kesabaran, ketahanan, dan ketekunan.
Mereka yang berani menantang lautan di malam hari, siap menghadapi hujan, angin, dan ombak, bukan sekadar mencari hasil tangkapan. Mereka mencari pengalaman dan sensasi.
Karena di laut, tidak ada yang bisa dipastikan. Tidak ada janji bahwa setiap malam akan membawa hasil. Tetapi ada satu hal yang pasti, setiap Angler yang pernah merasakan sensasi tarikan cumi di ujung joran, akan selalu ingin kembali.
Karena berburu tinta hitam di Teluk Lampung bukan hanya sekadar hobi, tetapi sebuah tradisi yang akan terus berlanjut selama laut masih menyimpan misterinya.
Next penulis akan mengulas para pemancing di atas kapal Tugboat (Tongkang). Bedanya, para Angler di kapal Tugboat tidak dikenakan biaya sepeserpun alias gratis. Hanya saja mengeluarkan kocek sebesar Rp20 ribu untuk diantarkan oleh pemilik kapal kayu sebelum magrib ke Tugboat. Esok paginya mereka di jemput kembali sekitar pukul 6.00 WIB. (Rosid)