SULTAN Mehmed II lahir di tengah gemuruh dunia yang berubah cepat. Kesultanan Utsmaniyah tumbuh kuat, tapi ancaman dari luar dan ketegangan internal selalu mengintai. Di usia 12 tahun, Mehmed sudah mencicipi beratnya memimpin ketika ayahnya, Sultan Murad II, menyerahkan tahta kepadanya.
Meski saat itu kekuasaannya direbut kembali sementara oleh sang ayah untuk menstabilkan kerajaan, pengalaman itu menanamkan satu hal dalam dirinya, bahwa untuk menjadi pemimpin sejati, dibutuhkan lebih dari sekadar mahkota.
Sejak muda, Mehmed tumbuh di lingkungan yang keras namun penuh ilmu. Ia menguasai berbagai bahasa Arab, Persia, Yunani, Latin, bahkan Serbia. Ia membaca sejarah penaklukan, belajar strategi perang, filsafat politik, serta memahami hukum dan agama.
Tetapi satu pelajaran yang tertanam paling dalam adalah tentang Konstantinopel kota legendaris, ibukota Kekaisaran Romawi Timur, yang bertahan bak benteng kokoh di tengah dunia yang terus bergolak.
Konstantinopel bukan sekadar kota di peta. Ia adalah lambang. Selama berabad-abad, banyak penguasa Islam dari dinasti Umayyah hingga Abbasiyah mencoba meruntuhkannya, namun gagal.
Sabda Nabi Muhammad SAW menyebutkan bahwa “Konstantinopel akan ditaklukkan oleh sebaik-baiknya panglima dan sebaik-baiknya pasukan” menggema kuat di dunia Islam, menjadi semacam janji suci yang belum terpenuhi.
Di mata Mehmed, kota itu bukan hanya tantangan geopolitik. Konstantinopel adalah gerbang sejarah. Sebuah batu loncatan menuju dunia baru. Menaklukkannya berarti mewujudkan takdir mengukir namanya dalam sejarah besar manusia.
Di usia remajanya, sambil mengasah kemampuan militer, Mehmed II memendam mimpi itu. Ia tidak hanya mengandalkan keberanian, tetapi membekali dirinya dengan perencanaan matang. Ia belajar teknik pengepungan, mempelajari kekuatan dan kelemahan tembok Theodosian, benteng besar yang mengelilingi Konstantinopel.
Ia membayangkan strategi yang melampaui perang tradisional. menggunakan teknologi baru, diplomasi licin, bahkan inovasi yang belum pernah dicoba sebelumnya.
Bagi banyak pemimpin sebelumnya, Konstantinopel adalah tembok kokoh yang mustahil ditembus. Namun bagi Mehmed, kota itu seperti tantangan yang menunggu untuk dipecahkan. Setiap laporan tentang ketidakstabilan internal Bizantium, setiap retakan kecil di tembok pertahanan mereka, ia simpan dan pelajari. Ia bersiap dalam diam.
Dalam usia yang bahkan belum genap seperempat abad, Sultan Mehmed II bersumpah: dirinya akan menjadi orang yang mengukir sejarah. Ia akan membawa panji Utsmaniyah ke gerbang Konstantinopel, menancapkannya di jantung dunia, dan membuka lembaran baru yang kelak dikenang sepanjang zaman. Dan saat hari itu tiba, dunia pun berubah untuk selamanya.
Teknologi Baru dalam Pengepungan
Sultan Mehmed II tahu, Konstantinopel bukan kota biasa. Tembok Theodosian yang melindunginya bukan hanya tebal dan tinggi, tapi juga dirancang untuk menahan pengepungan bertahun-tahun. Kekuatan konvensional sudah terbukti tidak cukup. Banyak pasukan besar dari generasi sebelumnya terpukul mundur tanpa hasil.
Mehmed II mengambil pendekatan berbeda. Ia memutuskan untuk membawa sesuatu yang belum pernah digunakan dalam skala sebesar ini teknologi pengepungan mutakhir.
Demi ambisinya, Mehmed merekrut Urban, seorang ahli persenjataan asal Hungaria yang kabarnya diabaikan oleh Kaisar Bizantium karena tak mampu membayar jasanya. Urban membangun untuk Mehmed sebuah mahakarya, meriam Basilica, sebuah monster dari besi yang panjangnya lebih dari delapan meter dan membutuhkan puluhan ekor sapi serta ratusan orang untuk menggerakkannya.
Meriam Basilica bukan sekadar besar. Ia mampu menembakkan bola-bola batu raksasa seberat hingga 600 kilogram, menghancurkan dinding batu tebal seolah-olah itu kayu lapuk. Ketika Basilica ditembakkan, suaranya menggema hingga bermil-mil jauhnya, menggetarkan bumi dan menjatuhkan moral para pembela kota.
Tapi Mehmed tidak puas hanya dengan satu meriam raksasa. Ia memerintahkan pembuatan puluhan meriam lain, berbagai ukuran, untuk menghantam tembok Konstantinopel dari berbagai sisi tanpa henti. Pengepungan kali ini bukan hanya soal jumlah tentara, tetapi tentang tekanan psikologis dan kehancuran fisik yang perlahan tapi pasti melumpuhkan kota.
Setiap hari, dentuman meriam mengoyak langit Konstantinopel. Tembok luar yang selama lebih dari seribu tahun menahan serangan musuh mulai retak. Lubang-lubang besar tercipta, diperbaiki dengan panik oleh penduduk, lalu dihancurkan lagi keesokan harinya.
Teknologi ini menjadi pembeda utama. Pengepungan Mehmed bukan lagi sekadar soal bertahan lebih lama atau menunggu kelaparan melumpuhkan lawan. Ini adalah pengepungan modern cepat, brutal, dan tak terhindarkan.
Basilica dan armada meriam Mehmed II akhirnya membuka apa yang dulu tampak mustahil: jalan masuk ke jantung Konstantinopel.
Konstantinopel Jatuh
Setelah 53 hari yang panjang dan brutal, pengepungan Konstantinopel mencapai klimaksnya. Pada fajar 29 Mei 1453, pasukan Sultan Mehmed II melancarkan serangan besar-besaran dari semua arah. Meriam raksasa Basilica dan puluhan meriam lain telah menghantam tembok Theodosian hingga rapuh.
Dengan teriakan perang yang menggema, pasukan Utsmaniyah menerjang, melintasi parit, menghancurkan pagar kayu tambahan, dan menerobos celah-celah yang selama berabad-abad dianggap tak tertembus.
Pertahanan terakhir Bizantium runtuh. Para serdadu yang tersisa, kelelahan dan kekurangan persediaan, tak mampu lagi menghalau gelombang serangan yang seolah tak berujung. Kaisar Konstantinus XI, pemimpin terakhir Kekaisaran Romawi Timur, memilih bertahan di garis depan.
Mengenakan baju zirah tanpa lambang kerajaan, ia bertarung layaknya prajurit biasa hingga akhirnya gugur, tubuhnya hilang di antara reruntuhan kota yang ia coba pertahankan sampai napas terakhir.
Di tengah asap, reruntuhan, dan jeritan kemenangan, Sultan Mehmed II memasuki Konstantinopel. Ia berjalan di antara puing-puing kejayaan lama dengan penuh wibawa, disambut oleh prajurit-prajuritnya yang bersorak. Namun, Mehmed II tidak membiarkan euforia berubah menjadi kekacauan.
Ia segera memerintahkan pasukannya untuk menjaga ketertiban, melarang penghancuran bangunan, dan menegaskan bahwa kota itu bukan untuk dihancurkan, melainkan untuk dibangun kembali.
Salah satu tindakan simbolis pertamanya adalah menuju Hagia Sophia, gereja megah yang selama seribu tahun menjadi lambang keagungan Bizantium. Di sana, Mehmed II memerintahkan agar gereja itu diubah menjadi masjid, namun ia juga menjaga agar bangunan itu tetap utuh, menghormati arsitekturnya yang luar biasa. Tindakan ini bukan hanya pergeseran kekuasaan, tetapi juga penegasan lahirnya era baru.
Penaklukan Konstantinopel menandai lebih dari sekadar kemenangan militer. Ia adalah titik balik sejarah dunia. Dengan kejatuhan kota ini, Kekaisaran Romawi Timur pewaris terakhir Imperium Romawi kuno secara resmi berakhir.
Di atas reruntuhan Konstantinopel, Kesultanan Utsmaniyah bangkit sebagai kekuatan dominan baru, membuka jalan menuju masa keemasan yang akan mengubah wajah Timur Tengah, Eropa Timur, bahkan sebagian besar dunia selama berabad-abad ke depan.
Dalam pandangan dunia Islam, Mehmed II dianggap telah memenuhi nubuat Rasulullah tentang penaklukan Konstantinopel, sehingga ia digelari “Al-Fatih” Sang Penakluk. Dalam pandangan sejarah global, ia menandai pergeseran besar dari Abad Pertengahan menuju era Renaisans dan eksplorasi.
Hari itu, 29 Mei 1453, dunia berakhir bagi satu peradaban dan dimulai kembali di bawah panji yang baru.
Mehmed II Membangun Istanbul
Bagi Sultan Mehmed II, penaklukan Konstantinopel pada 29 Mei 1453 bukanlah akhir dari segalanya, melainkan sebuah babak baru. Dengan runtuhnya benteng terakhir Bizantium, ia membuka pintu bagi sebuah era baru yang ingin ia bangun.
Kota yang telah bertahan selama lebih dari seribu tahun itu kini berada di tangannya. Namun, ambisi Mehmed tidak berhenti hanya pada kemenangan militer. Ia tahu, untuk menciptakan sebuah kerajaan yang abadi, ia harus membangun kembali lebih dari sekadar tembok dan benteng.
Setelah merebut Konstantinopel, Mehmed II segera mengganti nama kota itu menjadi Istanbul, sebuah simbol perubahan dan kelahiran kembali. Di mata Mehmed, Istanbul bukan hanya ibu kota Kesultanan Utsmaniyah, tetapi juga pusat dunia yang akan menyatukan berbagai peradaban. Untuk itu, ia memulai proyek pembangunan besar-besaran.
Salah satu langkah pertama yang diambil Mehmed adalah membuka pintu kota lebar-lebar untuk orang-orang dari berbagai latar belakang. Ia mengundang penduduk dari seluruh wilayah Utsmaniyah, tanpa memandang agama.
Muslim, Kristen, Yahudi, semua diberi kesempatan untuk menetap di Istanbul, sebuah langkah yang tidak hanya meningkatkan keragaman, tetapi juga memperkaya budaya kota tersebut. Dalam waktu singkat, Istanbul berkembang menjadi pusat perdagangan, ilmu pengetahuan, dan budaya yang menampung berbagai komunitas.
Di bawah kepemimpinan Mehmed II, kota ini dipenuhi dengan madrasah, masjid, sekolah, pasar, dan infrastruktur baru yang mulai bermunculan di seluruh penjuru Istanbul. Salah satu landmark yang paling dikenal adalah Hagia Sophia, yang diubah menjadi masjid megah, simbol transisi kekuasaan dan integrasi budaya Islam ke dalam kota.
Mehmed juga membangun masjid-masjid besar, palais, dan benteng yang memperkuat status Istanbul sebagai kota yang tidak hanya melindungi, tetapi juga mempersatukan berbagai kekuatan.
Mehmed II memahami pentingnya keberagaman agama dalam menciptakan kestabilan sosial. Ia tidak hanya membiarkan komunitas-komunitas non-Muslim berkembang, tetapi juga memberdayakan mereka dengan sistem millet. Melalui sistem ini, komunitas Kristen dan Yahudi diberikan otonomi dalam urusan keagamaan dan sosial mereka, menjadikan Istanbul sebagai tempat yang penuh toleransi dan saling menghormati.
Istanbul, di bawah tangan Mehmed II, menjadi jembatan antara Timur dan Barat, antara dunia Islam dan Kristen, serta antara masa lalu dan masa depan. Ia tidak hanya membangun fisik kota, tetapi juga membangun jembatan budaya, yang menghubungkan berbagai peradaban yang telah bertahan berabad-abad.
Hari ini, lebih dari lima abad setelah penaklukannya, Sultan Mehmed II dikenang tidak hanya karena keberhasilannya dalam menaklukkan Konstantinopel, tetapi juga karena visinya yang jauh ke depan. Ia menjadikan Istanbul sebagai salah satu pusat peradaban dunia yang tetap bertahan hingga ratusan tahun kemudian.
Kota yang dulunya berada di bawah bayang-bayang kejatuhan, kini berdiri sebagai simbol kejayaan yang tak tergoyahkan, menghubungkan dunia Timur dan Barat dengan segala kemegahannya.
Mehmed II bukan hanya seorang penakluk, tetapi juga seorang pembangun peradaban, yang dengan tangan dinginnya, membentuk Istanbul menjadi kota yang menjadi pusat segala aspek kehidupan dunia perdagangan, agama, seni, dan ilmu pengetahuan. (*)